Pendidikan Nilai

pagi ini di Sumedang ada seminar nasional pendidikan berbasis nilai. salah satunya menghadirkan pembicara bapak Prof. D. H. Enceng Mulyana, MPd. (maaf saya tidak berminat mengatakan nara sumber, sebab setumpuk gelar yang disandangnya diyakini sebagai sebuah prestasi yang tidak akan menggiringnya menjadi nara pidana). profesor ini membawakan materi peran orangtua dalam pendidikan keluarga berbasis nilai dalam perspektif rumahku sekolahku.

tertarik mengangkat ini karena ada ungkapan rumahku sekolahku. profesor yang pernah aktif di hmi ini pasti hapal betul dengan ungkapan baeti jannati (rumahku sorgaku), sehingga mentransfernya untuk menonjolkan pentingnya pendidikan informal (pendidikan keluarga) dengan istilah baeti madrosati (rumahku sekolahku).

pendidikan informal memang nomor satu dan utama dalam pendidikan. begitu pentingnya, dalam hadits disebutkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih atau suci kira-kira) dan orangtuanyalah yang meyahudikan, menasranikan, atau memajusikannya. itu sebabnya pula, begitu anak lahir langsung diperdengarkan azan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya. setelah anak mencapai usia tujuh hari, diberi nama yang baik, dicukur rambutnya sampai botak untuk membersihkan penyakit, dan disembelihkan seekor kambing bagi anak perempuan atau dua ekor bagi anak laki-laki (disebut aqiqah). bahkan bagi sebagian orang, berbarengan dengan acara cukur rambut dan aqiqah dilaksanakan hajatan dengan membacakan sejarah nabi. anak yang baru lahir itu suci, maka kebaikan-kebaikan yang diajarkan kepadanya, sejarah nabi yang diberitakan dan bukan sejarah penciptaan anak itu sendiri.

yang terlupakan, terutama bagi sebagian keluarga yang memiliki baby sister, pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada baby sister. ibunya hanya menyusui saat anak butuh susu (itu pun kalau air susu ibunya) dan bapaknya sibuk mencari nafkah buat keluarga. lebih parah lagi, jika anak sudah bersekolah, seolah-olah orangtua sudah lepas tanggung jawab terhadap pendidikan anak. salah besar!

pendidikan itu bukan sekedar proses pengayaan intelektual, tetapi juga menumbuhkan benih-benih adab manusia untuk mengecambahkan kualitas luhur kemanusiaan, kata pak profesor. itu akan tercipta apabila ada keharmonisan antara pendidikan sekolah dengan pendidikan keluarga, di samping memang pendidikan sekolah pun harus menumbuhkan benih-benih adab manusia. ini adalah pendidikan nilai, dan sebagai lingkungan yang paling akrab dengan kehidupan anak, keluarga memiliki peran yang sangat penting dan strategis bagi penyadaran, penanaman, dan pengembangan nilai.

diingatkan oleh Dr. Rohmat Mulyana, hal krusial yang dihadapi pendidikan nilai di keluarga adalah kecenderungan menipisnya ikatan emosional anak terhadap orangtua atau sebaliknya. Keadaaan ini terjadi sebagai akibat pergeseran nilai-nilai kehidupan manusia yang merembes ke dalam kehidupan keluarga. Rupanya di sinilah pentingnya mengangkat isu rumahku sekolahku, yakni pendidikan nilai di keluarga adalah menjadikan keluarga sebagai zona iklim pembelajarn yang kondusif bagi anak.

sekarang, bagaimana jika dibalikkan menjadi sekolahku rumahku? asyik juga kayaknya. hanya saja, seperti halnya pendidikan keluarga yang tumbuh dari kesadaran moral sejati antar orangtua dan anak, pendidikan sekolah mengikuti tatanan ketentuan yang diformalkan. namun begitu, karena anak disekolahkan pada dasarnya memindahkan tanggung jawab pendidikan orangtua kepada tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah selama anak bersekolah, maka kasih sayang penanggung beban hendaknya seperti layaknya kasih sayang orangtua kepada anaknya.

yang terpenting sekarang, anak adalah harapan masa depan. rasa kebersamaan dan kesatuan antara sekolah dan orangtua bisa memunculkan konsep berbagi rasa sebagai wujud tanggung jawab bersama.

Leave a comment